Kamis, 16 Februari 2012

SAYA HOBI JELALATAN

Saya hobi jelalatan. Kalau lagi jalan-jalan kemana aja, baik keluar kota atau sekadar ke mall, saya pasti nggak bisa diem; sibuk aja jelalatan ke sana kemari. Tapi jelalatannya saya beda. Bukan jelalatan karena pengen beli ini itu, saya justru jelalatan mencari-cari peluang.

Seperti waktu janjian makan siang sama klien di sebuah mall di Bandung, beberapa bulan yang lalu. Waktu itu saya baru pertama kali ke tempat itu. Begitu masuk pelataran mall, saya langsung jelalatan nggak bisa diem. Aduh, ini tempat bagus banget ya. Kayaknya seru deh kalau bikin acara di sini. Kapan-kapan mau ah bikin acara musik di sini, gumam saya dalam hati.

Waktu kemudian saya makan siang di salah satu resto yang ada di area mall itu, saya langsung jelalatan lagi liat daftar menunya. Wah, menunya macem-macem dan harganya cukup terjangkau ya. Rasa makanannya pun maknyus dan tempatnya nyaman. Nanti kalau suatu saat bikin acara di sini, saya mau ngajak bintang tamu dan panitianya makan di sini aja ah.

Selesai ketemu klien, sebelum meninggalkan mall saya sempetin jalan sebentar mengitari tempat itu. Oh, di sini ada supermarketnya juga. Ada hotel juga. Parkirnya luas. Posisinya di tengah kota sehingga gampang dijangkau. Saya juga sempet-sempetin mampir ke office management untuk nanya aturan main kalau mau bikin event di tempat ini. Sambil tukeran kartu nama sama orang promo-nya, saya tanya-tanya tentang acara-acara yang pernah dibuat di tempat ini sebelumnya.

Karena sudah pernah jelalatan duluan, waktu di kemudian hari saya bener-bener dapet kesempatan untuk bikin acara di mall itu, saya udah nggak gelagapan cari-cari informasi seputar venue. Saya nggak perlu repot-repot survey ke sana kemari karena -tanpa sadar- sebagian persiapan acara sudah saya cicil jauh-jauh hari. Untuk persiapan acara yang saya selenggarakan beberapa waktu lalu, saya cuma butuh waktu nggak sampai 2 minggu.

Kalau jalan-jalan ke suatu kota yang belum pernah saya datangi sebelumnya, saya lebih jelalatan lagi. Sambil jalan saya melihat-lihat tempat-tempat yang biasa dipakai untuk menggelar acara, cari-cari toko musik dan hotel atau rumah makan mana yang kira-kira bisa diajak kerja sama kalau suatu saat saya bikin acara di kota itu, mengunjungi agen majalah saya yang selama ini cuma kenal lewat telepon, atau mencari tahu dan mendekatkan diri ke komunitas musisi setempat. Ketika akhirnya mau bikin acara di kota itu, saya sudah punya gambaran mau bikin di mana dan menggandeng siapa saja untuk diajak kerja sama. Saya sudah menabung info duluan, dengan cara jelalatan.

Selain hobi jelalatan, saya juga hobi memancing. Bukan memancing ikan di empang atau di laut, tapi memancing obrolan dengan orang yang saya temui di mana saja. Sambil ngobrol, saya sekaligus menjajaki kemungkinan untuk melihat peluang kerja sama. Mungkin waktu awal-awal ngobrol pembicaraan masih standar-standar aja. Tapi setelah beberapa saat pasti akan segera ketahuan ada nggak peluang kerja sama yang bisa digarap bersama. Kerja samanya bisa dalam bentuk apa saja - dalam hal ini saya membebaskan pikiran saya untuk menerima segala bentuk kerja sama sepanjang saling menguntungkan dan saya mampu mengerjakannya. Saya dapat prioritas pemasangan internet di kantor lebih cepat, harga murah waktu menyewa sound system, sukarelawan yang bersedia menjadi petunjuk jalan saat berada di sebuah kota yang baru saya kunjungi, info harga pasaran sewa atau jual rumah di suatu tempat, dan banyak keuntungan lain, semua gara-gara saya rajin memancing obrolan. Kalau ternyata saya nggak menemukan peluang kerja sama dengan orang yang saya ajak ngobrol, setidaknya saya sudah menambah teman baru. Nggak ada ruginya punya banyak teman kan? Dan dari obrolan itu, bukan nggak mungkin wawasan saya justru bertambah, atau sebaliknya saya menambah wawasan orang yang saya ajak ngobrol.

Ada ungkapan mengatakan, kesempatan nggak datang dua kali. Saya nggak sepenuhnya setuju dengan pernyataan itu. Ah, nggak juga. Kesempatan yang sama mungkin memang nggak datang dua kali. Tapi kesempatan yang berbeda bisa datang berkali-kali. Makanya saya heran kalau ada orang yang merasa kesempatan nggak pernah datang menghampirinya. Masa iya sih? Mungkin kesempatan itu bukan nggak pernah datang, tapi ketika datang orang yang bersangkutan nggak menyadarinya, nggak segera menangkapnya, dan membiarkannya lewat serta hilang begitu saja, baik sengaja ataupun tidak. Karena biasanya kesempatan nggak mau menunggu lama, hanya lewat sekelebatan saja. Jadi kita harus sigap dan selalu siap menangkap pada saat kesempatan lewat.

Kalau pun kesempatan nggak datang-datang, kita bisa kok mencarinya. Dengan rajin jelalatan, sebetulnya saya sedang membuka mata, hati dan pikiran saya lebar-lebar agar setiap saat siap mendekteksi peluang yang datang. Sinyal di kepala saya biarkan terus terpasang sehingga ketika peluang itu betul-betul lewat, meskipun hanya sekelebat, saya bisa langsung menangkapnya dan nggak membiarkannya berlalu begitu saja. Lama-lama saya jadi terlatih dan terasah melihat kesempatan atau peluang, betapa pun kecilnya. Sebelum kesempatan betul-betul lewat di depan mata saya sudah bisa merasakan keberadaannya dan segera menyiapkan diri untuk menangkapnya. Semua itu awalnya karena saya hobi jelalatan dan rajin memancing obrolan.

Ada yang mau ikut jejak saya? :)

Senin, 16 Januari 2012

SAYA NGGAK GILA, CUMA AGAK NEKAT :D

Sebetulnya saya nggak gila. Saya cuma agak nekat. Hmmm.. ok deh, bukan agak nekat.. tapi sangat nekat! Dalam beberapa hal, kadar nekat saya memang di atas rata-rata orang kebanyakan. Ini menurut survey tidak resmi yang dilakukan oleh Oom Jambrong, keponakanannya Mbah Jenggot. Siapa tuh? Nggak usah dipikirin, saya juga nggak kenal kok. Tadi asal nyebut aja hahahahaa..

Selama 10 tahun terakhir ini saja sudah banyak hal nekat yang saya lakukan, yang orang lain mungkin sekedar memikirkannya saya ogah. Beberapa di antaranya yaitu
1. Nekat berhenti kerja untuk bikin usaha. Orang lain umumnya akan menunggu sampai usaha yang baru dimulai berjalan dan bisa dijadikan sandaran dulu baru memutuskan berhenti kerja, saya dan suami sudah keluar kerja duluan sebelum usaha berjalan.

2. Nekat terjun ke bisnis penerbitan dan distribusi majalah padahal nggak punya modal besar dan nggak punya pengalaman sebagai pengusaha. Saya nggak memulai usaha dengan menjalankan usaha yang sederhana dulu, tapi langsung hajar bleh menerbitkan majalah musik berskala nasional dan menangani sendiri distribusinya.

3. Nekat memilih menerbitkan majalah gitar, padahal nggak bisa main gitar. Biasanya orang memilih usaha di bidang yang dikuasainya atau yang menjadi hobinya. Saya nggak hobi main gitar dan menguasai instrument ini, tapi cuek aja memilih usaha penerbitan majalah gitar. Biarin aja. Pedagang telor juga nggak harus bisa bertelor kan? :p

4. Nekat bikin empat majalah musik dalam waktu tiga tahun padahal bikin usaha aja masih belajar. Biasanya pengusaha besar yang berani melakukan ekspansi usaha dalam waktu singkat karena didukung modal besar dan pengalaman. Saya nggak punya dua hal itu tapi saya membalik cara berpikir saya; ah, kalau majalah berkembang jadi banyak kan nanti saya jadi punya banyak uang untuk modal juga, kalau terbiasa bikin beberapa majalah, otomatis kan saya jadi banyak pengalaman juga hehe..

5. Nekat bikin berbagai acara gitar, padahal –sekali lagi- nggak bisa main gitar dan nggak punya pengalaman menjadi EO. Daripada membuang waktu untuk belajar dulu baru praktek, saya langsung praktek aja sambil belajar. Lebih cepat kita menguasai apa yang harus dipelajari kalau langsung dipraktekkan, daripada otak cuma dijejalli dengan teori tapi nggak praktek-praktek. Itu kalau menurut saya lho.. :D

6. Nekat bikin acara di suatu kota, padahal sama sekali belum pernah menginjakkan kaki ke kota itu. Justru saya bikin acara di kota itu biar pernah menginjakkan kaki ke sana!

7. Nekat buka kursus musik padahal tenaga pengajarnya belum ada. Siapa bilang bikin kursus musik yang paling penting ada tenaga pengajarnya dulu? Tenaga pengajar penting, tapi ada segambreng kalau nggak ada muridnya tetap aja nggak bisa jalan kursusnya. Kalau buat saya, lebih gampang mencari tenaga pengajar kalau sudah ketahuan ada murid yang mau mendaftar kursusnya.

8. Nekat buka toko musik padahal belum ada tokonya, belum punya stock barang yang mau dijual, sama sekali nggak ngerti management toko, bahkan belum paham produk yang akan dijual. Ah, semua itu kan bisa belajar sambil jalan. Yang penting saya tahu jualan alat musik ada pasarnya. Pakai ilmu bodoh-bodohan aja deh, barang sebagus apa pun pasti susah dipasarkan kalau nggak ada pasarnya, nggak ada pembelinya. Tapi kalau pembelinya udah ketahuan ada, kita tinggal meningkatkan kualitas dan pelayanan agar produk kita bisa diserap dengan baik oleh pasar.

9. Nekat sok akrab sama orang-orang yang bisa menginspirasi saya untuk menjadi lebih maju. Orang ini bisa siapa saja; sesama pemilik usaha, karyawan perusahaan yang masih berhubungan dengan usaha saya, temannya teman saya, atau bukan siapa-siapa sekalipun, terutama yang sikap mental dan pola pikirnya bisa menambah wawasan saya.

10. Nekat mengajak kerja sama orang yang nggak dikenal, bahkan berani-beraninya memutar balik cara pandang mereka kalau yang diajak kerja sama nggak langsung mau, dan masih banyak lagi

Kalau saya tulis semua, daftar kenekatan yang pernah saya lakukan pasti panjangnya nggak kira-kira. Sebagian hal nekat yang pernah saya lakukan sudah saya ceritakan di buku pertama saya, ‘Bermain Dengan Uang’. Yang lain-lainnya, nanti saya tulis satu per satu ya. Siapa tahu ada yang mau ikut-ikutan nekat. Nggak ada salahnya kok kita nekat-nekat dikit selama nggak merugikan, menyusahkan, dan membahayakan orang lain. Dan juga, sekali lagi, nggak bertentangan dengan hukum negara dan hukum agama. Yang penting kita siap menanggung resiko dari setiap kenekatan yang kita lakukan. Kalau nggak siap dengan resikonya, ya nggak usah nekat. Gampang kan?

Dalam hal nekat-nekatan saya merasa sungguh beruntung karena punya teman yang mau selalu diajak nekat. Dia adalah suami saya tercinta, Eka Venansius. Kalau saya lagi kumat dan butuh teman untuk diajak nekat-nekatan, dialah orang yang paling setia mendukung dan menemani saya, sekaligus memegangi tangan saya kalau tiba-tiba saya jatuh karena salah perhitungan atau faktor-faktor lain yang tak selalu bisa saya kendalikan. Percaya deh sama saya, orang bisa lebih nekat kalau ada temennya. Kita jadi bisa berbagi resiko, saling melengkapi kekurangan, sekaligus saling mendorong untuk nekat kalau salah satunya lagi mulai kehilangan semangat untuk nekat. Jadi, salah satu rahasia kenapa dari dulu sampai sekarang saya nekatnya nggak hilang-hilang, tapi justru semakin terpelihara dengan baik, adalah karena ada temannya.

Mau ikutan nekat seperti saya? Gih, cari dulu teman yang mau diajak nekat! Kalau nggak ketemu-ketemu juga, silakan hubungi saya. Kalau nekatnya asyik dan bisa dipertanggungjawabkan, saya mau kok nemenin. Asal jangan nekat ngajak kawin lari apalagi bunuh diri ya! Hehe..

Minggu, 15 Januari 2012

BANYAK ORANG BILANG SAYA GILA!

Halo, saya Intan! Masih ingat? Saya penulis buku ‘Bermain Dengan Uang’ yang sehari-hari sibuk bersenang-senang mengelola usaha di bidang penerbitan dan distribusi majalah musik (Majalah GitarPlus), toko dan rental studio musik (GH Music & Studio Bintaro dan GH Music Graha Raya), dan penyelenggara event-event khusus gitar di berbagai kota di Indonesia.

Belakangan ini, makin banyak yang bilang saya gila. Ah, masa iya saya gila? Perempuan baik-baik dengan wajah tanpa dosa begini dibilang gila? Hahaha.. yang bener ajaa..

Iya deh, saya ngaku kalau dalam banyak hal saya suka nekat. Dan kenekatan saya kadang-kadang memang melewati batas kewajaran. Saya nggak takut menabrak pakem, nggak ragu-ragu mendobrak hal-hal yang dianggap normal, dan berani melakukan sesuatu yang nggak biasa. Tapi memangnya itu cukup dijadikan alasan untuk menuduh saya gila? Ingat, saya ini perempuan baik-baik dengan wajah tanpa dosa lho.. (cuih, apa hubungannya?) :-D

Sebagian orang lagi menganggap saya ajaib. Harus diakui, cara saya berpikir, merencanakan sesuatu, menyikapi masalah, dan memandang segala hal di sekitar saya kadang-kadang memang agak berbeda dari orang kebanyakan. Dan itu sangat mempengaruhi cara saya mengelola usaha. Contoh aja nih, orang lain waktu mau memulai suatu usaha lazimnya merencanakannya dari A, baru ke B, C, D, dan seterusnya secara berurut. Kalau saya bisa mulai dari C, baru ke B, D, lalu justru baru ke A. Ini contoh nyatanya; orang lain kalau mau buka kursus gitar menyiapkan ruang kelas, fasilitas, guru, dan kurikulumnya dulu, baru cari murid. Nah, saya kebalik. Dapat murid dulu, baru cari guru, menyiapkan kurikulum lalu langsung jalan sambil pelan-pelan melengkapi fasilitas yang dibutuhkan. ^_^

Saya orang yang spontan dan impulsif. Saya bisa seketika kepikiran ingin mengerjakan sesuatu, dan langsung saya lakukan saat itu juga. Kalau ditunggu kelamaan, saya keburu berubah pikiran. Keburu muncul ide-ide baru lagi karena setiap hari ada begitu banyak ide yang melompat-lompat liar di benak saya, menunggu waktu untuk direalisasikan. Orang-orang di kantor saya sudah nggak heran kalau pagi-pagi saya duduk manis di ruang kerja, kelihatan serius ngetik-ngetik sesuatu, nelpon ke sana kemari sambil memberi instruksi ke pegawai untuk mengerjakan ini itu, tapi sejam kemudian keluar ruangan sambil teriak, “Kita nonton bareng sekarang, yuk! Ada film bagus nih..” Atau, “Awal bulan kita pindah kantor ya. Ruangan yang ini mau dijadikan studio musik.” Makanya orang yang mengidap penyakit jantung nggak disarankan melamar kerja di kantor saya. Bisa kaget-kagetan terus dia. Hahahaa…

Cara berpikir saya melompat-lompat, saya suka mengerjakan banyak hal sekaligus dalam waktu bersamaan (tapi untunglah akhirnya selesai semua :p), sering nggak berpikir panjang kalau akan melakukan sesuatu, dan suka membuat manuver-manuver yang untuk orang lain mungkin mengejutkan. Tapi sebagai pemimpin yang bertanggung jawab mengendalikan laju perahu usaha, untungnya saya tahu sopan santun. Setiap kali mau membuat gerakan berbahaya seperti banting setir atau mendadak berbalik 180 derajat, saya selalu memberi peringatan dulu kepada semua pegawai untuk berpegangan erat-erat biar nggak jatuh atau minimal terkaget-kaget akibat perbuatan saya. ^_^

Saya nggak takut mengambil resiko, nggak takut gagal, dan berani menantang bahaya sepanjang itu berpotensi membuat usaha saya berkembang menjadi lebih maju. Saya juga rela meninggalkan kenyamanan untuk mencoba sesuatu yang baru dan nggak gengsi melakukan hal-hal yang buat sebagian orang dianggap bikin malu. Asal nggak merugikan dan menyusahkan orang lain serta nggak bertentangan dengan hukum negara dan hukum agama, apa salahnya? Mumpung masih muda dan ada kesempatan, cobain aja semuanya biar nggak penasaran nantinya.

Dalam berbisnis saya nggak melulu berorientasi pada keuntungan materi. Karena buat saya, saat mengerjakan sesuatu yang penting saya sudah lebih dulu menikmati prosesnya. Untung dan rugi itu urusan belakang. Kalau untung saya lebih senang lagi. Kalau rugi? Ya sudah, toh saya sudah bersenang-senang menikmati prosesnya. Tapi pada kenyataannya ketika kita menikmati apa yang kita lakukan, biasanya hasilnya justru akan lebih maksimal. Dan kalau hasil kerja kita maksimal, keuntungan otomatis bakal datang tanpa diundang. Itu kalau berdasarkan pengalaman saya lho..

Terserah orang mau menganggap saya gila atau menilai apa pun tentang saya. Saya cuma pengusaha biasa yang menjalankan usaha dengan gaya rock 'n roll; bebas, santai dan suka-suka. Jalan yang saya hadapi nggak selalu mulus. Kadang terjal berliku. Nggak jarang saya ketemu jalan buntu. Tapi semua itu nggak pernah membuat saya patah semangat, apalagi menyerah. Saya menikmati pilihan hidup saya sebagai pengusaha, mencintai dunia saya lengkap dengan suka dukanya, dan bahagia tak perduli orang mau bilang apa. Kalau gara-gara semua itu saya lalu dituduh gila biarin aja. Buktinya banyak juga tuh yang setelah melihat dan mengamati sepak terjang saya lalu menghubungi saya, baik lewat inbox facebook maupun email untuk… MINTA DIAJARIN GILA! Hahahahaa..

Ayo, siapa yang mau ikut gila bareng saya? :D